BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Taqwa
berasal dari kata waqa-yaqi-wiqayah yang artinya memelihara. "memelihara
diri dalam menjalani hidup sesuai tuntunan/petunjuk allah" Adapun dari
asal bahasa arab quraish taqwa lebih dekat dengan kata waqa Waqa bermakna
melindungi sesuatu, memelihara dan melindunginya dari berbagai hal yang
membahayakan dan merugikan. Itulah maka, ketika seekor kuda melakukan
langkahnya dengan sangat hati-hati, baik karena tidak adanya tapal kuda, atau
karena adanya luka-luka atau adanya rasa sakit atau tanahnya yang sangat kasar,
orang-orang Arab biasa mengatakan Waqal Farso Minul Hafa (Taj).
Dari
kata waqa ini taqwa bisa di artikan berusaha memelihara dari ketentuan allah
dan melindungi diri dari dosa/larangan allah. bisa juga diartikan berhati hati
dalam menjalani hidup sesuai petunjuk allah.
“Bertaqwalah kepada Allah yang
kepadanya kalian dikumpulkan !’ (Al-maa’idah [5] : 96)

‘Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang
telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ (Al-Hasyr [59] : 18)
Sesungguhnya
yang paling mulia di antara kamu dalam pandangan Allah, ialah yang paling takwa
(Al Hujurat, 49:13). Untuk memahami pesan-pesan takwa dalam Al Qur’an dan
implikasinya dalam kehidupan, ada baiknya pada pendahuluan ini dikemukakan
lebih dahulu beberapa pandangan para sufi tentang takwa. Pandangan ini dipilih
karena dalam aspek-aspek kajian keislaman lainnya kita belum banyak menjumpai
secara khusus pembahasan yang berkaitan dengan takwa.
Sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Said Al Khudry mengatakan bahwa seseorang
pernah meminta nasehat kepada Rasulullah, lalu beliau mengatakan: “Engkau harus
mempunyai ketakwaan kepada Allah, karena ketakwaan adalah kumpulan seluruh
kebaikan. Engkau harus melaksanakan jihad, karena jihad adalah kerahiban kaum
muslim. Dan engkau harus dzikir kepada Allah, karena dzikir adalah cahaya
bagimu”. (HR. Abu Ya’la).
Taqwa
merupakan kumpulan seluruh kebaikan, dan hakekatnya adalah “bahwa seseorang
melindungi dirinya dari hukuman Tuhan dengan kepatuhan dan ketundukan
kepada-Nya. Asal usul taqwa adalah menjaga diri dari syirik, kejahatan dan
dosa, dan dari hal-hal yang syubhat, yaitu yang diragukan tentang halal dan
haramnya.
Kata
“takwa” termasuk salah satu diantara kata-kata agama yang banyak dikenal dan
sering diucapkan. Dan Al Qur’an memberikan perhatian yang amat besar terhadap
takwa. Kata takwa, dengan kata-kata jadiannya, dalam Al Qur’an terulang
sebanyak 258 kali, dan 82 di antaranya terdapat kalimat perintah (imperative)
untuk bertakwa. Karena begitu luasnya pembahasan tentang takwa, maka dalam
tulisan yang terbatas ini saya hanya akan mengutip beberapa ayat saja, sebagai
contoh, untuk memahami arti dan pesan-pesan takwa; walaupun ayat-ayat yang
dikutip itu tidak atau belum mewakili makna keseluruhan dari pesan-pesan takwa
yang terkandung dalam Al Qur’an.
Begitu
esensinya takwa untuk kehidupan manusia dapat kita lihat dalam ajaran Al Qur’an
dari uraian berikut ini. Al Qur’an menjelaskan kepada kita bahwa tujuan manusia
diciptakan Allah adalah untuk mengabdi kepada-Nya, “Dan tiada Aku ciptakan jin
dan manusia melainkan supaya mengabdi (menyembah) kepada Ku.” (Al Dzariyat,
51:56).
Ibadah
berarti pengabdian atau penghambaan diri kepada Allah, Tuhan yang Maha Esa.
Karena itu, dalam pengertaiannya yang lebih luas, ibadat mencakup keseluruhan
kegiatan manusia dalam hidup di dunia ini termasuk kegiatan “duniawi”
sehari-hari, jika kegiatan itu dilakukan dengan sikap batin serta niat
pengabdian dan penghambaan diri kepada Allah, yakni sebagai tindakan bermoral.
Artinya makna dan tujuan keberadaan manusia ialah ‘perkenan’ atau ridha Allah
SWT. Dan secara khusus ibadat juga menunjuk kepada amal perbuatan tertentu yang
bersifat keagamaan yang disebut dengan ubudiyah, ritual atau ibadat murni,
seperti shalat, puasa, dan lainnya.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa saja ciri-ciri orang
bertaqwa ?
2.
Apa saja unsur - unsur orang
yang bertaqwa ?
3.
Apa saja tingkatan taqwa ?
4.
Apa sajakah syarat untuk
bertaqwa ?
C.
TUJUAN PENULISAN
1.
Memenuhi tugas agama islam mengenai Bab Taqwa.
BAB II
PEMBAHASAN
A. CIRI
ORANG YANG BERTAQWA
·
Yu’minuuna
bil ghaib, beriman terhadap yang ghaib. Menurut Ibnu
‘Abbas, yu’minuun artinya yushdiquun
(membenarkan). Abu al-‘Aliyah menjelaskan makna yu’minuuna bil ghaib artinya
beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya,
Hari Akhir, surga-Nya, Neraka-Nya dan pertemuan dengan-Nya, serta beriman dengan
kehidupan setelah kematian dan Hari Kebangkitan. ‘Atha menyatakan barangsiapa
beriman kepada Allah maka sesungguhnya dia telah beriman kepada yang ghaib.
Ibnu ‘Abbas menyatakan bahwa bil ghaib maknanya terhadap apa saja yang datang
dari Allah. Zaid ibn Aslam menyatakan bil ghaib artinya bil qadr (ketentuan
Allah). Menurut Ibnu Katsir, semua yang disebutkan ulama salaf diatas adalah
benar, dan makna ghaib mencakup semuanya (lihat tafsir Ibnu Katsir). Dari ciri
pertama ini bisa kita pahami bahwa ciri orang yang bertaqwa adalah orang-orang
yang beriman terhadap semua hal ghaib yang diinformasikan oleh Allah ta’ala
dalam al-Qur’an al-Karim dan as-Sunnah al-Mutawatirah.
·
yuqiimuunash
shalah, mendirikan shalat. Mendirikan shalat menurut
Ibnu ‘Abbas maksudnya adalah mendirikan shalat dengan semua fardhunya.
Sedangkan menurut Qatadah, mendirikan shalat artinya memelihara waktu-waktunya,
wudhu, ruku’ dan sujudnya. Muqatil ibn Hayyan menjelaskan definisi mendirikan
shalat adalah menjaga waktu-waktunya, menyempurnakan thaharah, menyempurnakan
ruku’ dan sujudnya, membaca Al-Qur’an didalamnya, serta bertasyahud dan membaca
shalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat tafsir Ibnu Abi Hatim).
Dari penjelasan para mufassir diatas, bisa kita simpulkan bahwa yuqiimuunash
shalah artinya mendirikan shalat dengan melaksanakan semua rukunnya dan
menyempurnakannya dengan semua sunnah sejak thaharah sampai selesai shalat.
Inilah ciri ke-2 orang-orang yang bertaqwa.
·
alladziina
yu’minuuna bimaa unzila ilayka wa maa unzila min(g) qablik,
beriman terhadap kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan kepada Rasul-rasul sebelum beliau. Apa yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Al-Qur’an, tidak ada
perbedaan pendapat dalam hal ini. Sedangkan kitab-kitab yang diturunkan sebelum
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Qatadah menyebutkan ia adalah
Taurat, Zabur dan Injil (lihat Tafsir Ibnu Abi Hatim). Ibnu ‘Abbas berkata
tentang maksud dari alladziina yu’minuuna bimaa unzila ilayka wa maa unzila
min(g) qablik, adalah membenarkan apa yang datang kepadamu (wahai Muhammad,
yaitu Al-Qur’an) berasal dari Allah, dan membenarkan kitab-kitab yang ada pada
Rasul-rasul sebelummu, mereka tidak membedakan kitab-kitab tersebut dan tidak
mengingkari bahwa semua kitab tersebut datang dari rabb mereka.
·
bil
aakhirati hum yuuqinuun, yakin dengan adanya akhirat.
Menurut Ibnu ‘Abbas, maksud aakhirah adalah ba’ts, qiyaamah, surga, neraka,
hisab dan mizan (lihat tafsir Ibnu Abi Hatim). Makna al-yaqiin adalah al-‘ilmu
duuna asy-syakk (pengetahuan tanpa ada keraguan sedikitpun), demikian menurut
al-Qurthubi. Dari sini kita bisa pahami, orang yang bertaqwa adalah orang yang
yakin 100% akan adanya hari akhir, hari kebangkitan kembali seluruh manusia dan
hari perhitungan seluruh amal manusia di dunia, apakah seseorang akan berada di
surga ataukah di neraka. Keyakinan ini tentu akan menghasilkan ketaatan kepada
seluruh perintah Allah ta’ala.
·
mimmaa
razaqnaahum yunfiquun, menafkahkan sebagian harta
yang telah Allah rizkikan kepada mereka. Menurut Ibnu ‘Abbas maksudnya adalah
zakat wajib, sedangkan menurut Ibnu Mas’ud maksudnya adalah Nafkah seorang
laki-laki pada keluarganya, karena itu adalah afdhalun nafaqah. Imam Muslim
meriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Dinar yang engkau nafkahkan fi sabiilillah (maksudnya perang di
jalan Allah), dinar yang engkau nafkahkan untuk membebaskan budak, dinar yang
engkau shadaqahkan kepada orang miskin, dan dinar yang engkau nafkahkan untuk
keluargamu, dari semuanya itu yang pahalanya paling besar adalah yang engkau
nafkahkan untuk keluargamu.” (shahih Muslim: 995). Silakan lihat penjelasan hal
ini dalam tafsir al-Qurthubi.
Menurut Qatadah, seperti
dikutip oleh al-Baghawi dalam tafsirnya, makna yunfiquun adalah yunfiquuna fii
sabiilillah wa thaa’atih. Tafsir Qatadah ini cukup luas dan menunjukkan semua
nafkah atas harta yang berorientasi ketaatan kepada Allah ta’ala tercakup dalam
ayat ini. Berarti ini juga mencakup tafsir dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas’ud
tanpa perlu mempertentangkannya. Inilah pendapat yang saya pegang. Wallahu
a’lam bishshawwab.
B. UNSUR
TAQWA
·
Takut kepada Allah, dalam
artian kita menanamkan rasa bahwa Allah itu mutlak adanya, Esa, dimana gerak
kita selalu terlihat oleh-Nya.Taqwa jenis ini merupakan tingkatan awal, dalam
hal ini Allah berfirman :
Dan barangsiapa yang taat
kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertaqwa kepada-Nya, maka
mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan. (QS. 24:52)
”Hai manusia, bertaqwalah
kepada Rabbmu; sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian
yang sangat besar (dahsyat).(Ingatlah) pada hari (ketika) kamu melihat
kegoncangan itu, lalailah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang
disusuinya dan gugurlah segala kandungan wanita yang hamil, dan kamu lihat
manusia dalam keadaan mabuk, padahal mereka sebenarnya tidak mabuk, akan tetapi
azab Allah itu sangat keras. (QS. 22:1-2)”
Sekarang, sudah mulai jelas
bukan? Jika kita mendasarkan pemahaman hanya pada tingkat ini saja, kapan kita
akan merasakan nikmatnya iman? Kapan kita akan mengarahkan taqwa dengan benar?
Jika yang kita ketahui hanya satu ”takut pada Allah”. Sedangkan takut pada
Allah itu sendiri ada prosesnya.
“Demi kemuliaan-Ku, Aku tidak
akan mengumpulkan dua rasa takut dan dua rasa aman pada seorang hamba. Jika ia
takut kepada-Ku di dunia, maka Aku akan memberinya rasa aman di akhirat. Dan
jika ia merasa aman dari-Ku di dunia, maka Aku akan memberinya rasa takut di
akhirat.
·
Setelah kita melaui proses
pertama, barulah kita beranjak pada tahapan yang kedua yaitu menjalankan
perintah al-Qur`an dan menjauhi apa yang jelas-jelas di larang dalam kitab-Nya.
Al-Qur`an surat al-Isra: 9 menjelaskan:
”Sesungguhnya al-Qur’an ini
memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira
kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada
pahala yang besar.”
”Barang siapa membaca al-Qur`an
dan mengamalkannya, pada hari kiamat kelak kelak Allah akan memakaikan mahkota
pada kedua orang tuanya, yang gemerlapan (sinarnya) lebih baik daripda sinar
matahari dalam salah satu rumah dunia, sekiranya sinar itu di dalamnya. Lantas
bagaimana dugaan kalian mengenai orang yang mengamalkannya sendiri.”
“Demikianlah (perintah Allah),
barang siapa mengagungkan syair-syair Allah (lambang-lambang-Nya), sesungguhnya
itu timbul dari ketaqwaan hati (QS. Al-Hajj:32)”
“Barang siapa membaca al-Qur`an
dan menguasainya (benar-benar memahami maknanya), kemudian ia menghalalkan yang
dihalalkan oleh al-Qur`an dan mengharamkan yang diharamkannya, kelak al-Qur`an
akan memasukkannya ke dalam surga dan mengizinkan ia memberi syafaat kepada
sepuluh orang keluargannya (semuanya) yang telah diharuskan masuk neraka. (HR.
Tirmidzi)
·
Mempersiapkan diri untuk Hari Akhir
Tingkatan ketiga yaitu
mempersiapkan untuk hari Akhir.Tahapan taqwa ini merupakan tolak ukur dimana
kita melakukan semua aktifitas di dunia ini dalam rangka mempersiapkan diri
untuk bertemu dengan-Nya.Membuktikan ketaqwaan kita secara tepat untuk
melangkah pada fase kehidupan ke-3 dan seterusnya (alam barzah dan akhirat).
”Tidak seorangpun di antara
kalian kecuail diajak bicara oleh Allah tanpa penerjemah. Kemudian ia menoleh
ke kanan, maka ia tidak melihat sesuatu melainkan apa yang pernah dilakukannya
(di dunia). Ia pun menoleh ke kiri, maka ia tidak melhat sesuatu melainkan apa
yang pernah dilakukannya (di dunia). Lalu ia menoleh ke depan, maka ia tidak
melhat sesuatu melainkan neraka di depan wajahnya. Karena itu, jagalah diri
kalian dari neraka meski dengan sebutir kurma.”
·
Ikhlash menerima apa yang ada
Tahapan terakhir, setelah kita
melakukan proses taqwa di atas, kita harus menyertakan rasa rela. Rela di sini
dalam artian kita sepenuhnya ridha (ikhlas) dengan ketetapan Allah yang
digariskan kepada kita baik lahir maupun batin, rela pada kuantitas bentuk
materi yang sedikit.
Barang siapa meninggalkan dunia
(wafat) dengan membawa keikhlasan karena Allah swt.saja,ia tidak menyekutukan
Allah sedikitpun, ia melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat, maka ia telah
meninggalkan dunia ini dengan membawa
ridha.
Bersyukur juga harus kita
perhatikan, mengapa? Karena begitu sedikit manusia yang bersyukur, banyak dari
mereka menganggap syukur hanya dengan kalimat al-hamdulillah namun tak banyak
dari mereka mengetahui cara bersyukur.
Dan sedikit sekali dari
hamba-hambaKu yang berterima kasih. (QS. 34:13)
Dan orang-orang yang berjuang
untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan Kami.Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang
berbuat baik. (QS. 29:69)
Seperti itulah tahapan bertaqwa
kepada Allah.Seperti itu pula konsep taqwa, yang bila salah satu dari keempatya
hilang, maka berkuranglah ketaqwaan itu.
Oleh sebab itu, surat al-Baqarah: 41 وإيي
فالتقون
yang artinya “maka hanya kepada-Ku kamu harus bertakwa“. Pertanyaannya; taqwa
yang bagaimana?Dan di tingkat mana ketaqwaan itu tertanam?
Hai orang-orang yang beriman,
bertaqwalah kepada Allah dengan ketaqwaan sebenar-benarnya.(Al-Imran: 102)
C. TINGKATAN
TAQWA
·
Taqwa nya Orang Orang yang hanya Melaksanakan
Perintah Allah dan Menjauhi Larangan Allah dengan Sekedarnya atau hanya
melaksanakan agar gugur kewajiban saja.
Taqwa semacam ini kata pak
Khotib, adalah taqwa nya orang orang yang nggak sehat rohani nya. karena orang
yang taqwa semacam ini hanya menjadikan beban saja kepada orang yang
melakukannya. semisal orang tersebut melaksanakan sholat tanpa ada kesadaran
dari hati untuk melaksanakan sholat tapi lebih karena orang tersebut takut akan
berdosa jika tidak melaksanakan sholat atau meninggalkannya. sholatnya pun asal
saja, tidak tepat waktu, tidak sholat secara berjamaah di masjid atau musholla
tapi “yang penting melaksanakan sholat”.
·
Taqwa
nya Orang Orang yang ingin menjadikan ibadah itu sebagai suatu hal yang terbaik
dalam hidupnya agar bisa menjadi Solusi dan Penolong bagi dirinya dalam
menghadapi Problematika Hidup.
Dalam Tingkatan Taqwa yang
kedua ini, Pak Khotib memberikan Ilustrasi sebuah Kisah yang sangat menarik.
Kurang lebihnya Kisah itu seperti Ini : “Pada saat itu Hujan Deras dan angin
bertiup sangat kencang. ada Tiga orang yang terjebak didalam sebuah Gua
yang tertutup sebongkah Batu Besar akibat tertiup angin. sehingga ketiga orang
ini tidak bisa keluar dari goa.
Namun Karena ketiga orang ini
masing masing adalah seorang yang bertaqwa dan beramal sholeh maka mereka
akhirnya bisa keluar dari dalam Goa karena Pertolongan dari Allah.
Saat terjebak didalam Goa,
Orang Pertama yang berprofesi sebagai Penggembala berdoa :” Ya Allah, Aku adalah
seorang Penggembala, tiap malam aku selalu memeras susu dari ternakku untuk aku
minumkan kepada kedua orang tuaku. pernah pada suatu malam kedua orang
tuaku karena kecapek’an, mereka tertidur, dan akhirnya aku belum sempat
meminumkannya, pada saat itu anakku menangis minta susu itu, tapi aku tidak
memberikan susu itu kepada anakku karena kedua orang tuaku belum meminumnya.
aku menunggunya sampai mereka bangun dari tidurnya, lalu aku meminumkannya,
baru setelah itu baru aku berikan susu itu kepada anak dan istri ku.” jika hal
itu adalah sesuatu yang terbaik menurut Engkau, Tolong Engkau bukakan Batu yang
menutup Goa ini agar Kami dapat keluar. maka seketika itu juga Batu besar yang
menutup Goa itu membuka sedikit, namun Mereka bertiga masih belum bisa keluar
dari Goa.
Orang kedua kemudian Berdoa
lagi, “Ya Allah… aku Pernah akan Berbuat Zina dengan saudari sepupuku, karena
Dia butuh Uang, kemudian aku bilang kepadanya, aku akan berikan uang /
harta kepadamu tapi dengan syarat engkau harus mau berzina denganku, lalu
pada saat aku akan menidurinya…, aku terigat kepadaMu dan aku tidak jadi
Melakukannya, lalu aku tinggalkan Uang dan hartaku untuk saudari sepupuku yang
tidak jadi aku zinahi. Jika hal itu adalah termasuk perbuatan terbaik yang
pernah aku lakukan, maka aku mohon kepadaMu ya Allah… Buka kan Pintu mulut Goa
ini agar Kami bisa Keluar. Maka Batu yang menutupi pintu goa itupun bergeser
sedikit… namun masih juga mereka bertiga belum bisa keluar.
Lalu Orang Ketiga juga
Berdoa… Orang ketiga ini adalah seorang Pengusaha Kaya Raya (Majikan) dan
mempunyai banyak Karyawan. pada saat gajian, ada seorang karyawannya yang tidak
hadir dan belum mengambil gaji nya. lalu pengusaha ini mengambil inisiatif
untuk membelikan gaji karyawan tersebut beberapa ekor kambing. beberapa tahun
berlalu si karyawan ini tidak muncul juga hingga akirnya kambing pun bertambah
banyak sampai sampai bukit penuh dengan kambing. suatu ketika karyawan yang
belum mengambil gaji nya tersebut menghadap sang majikan untuk mengambil hak
nya yang belum sempat diambil pada waktu itu. tanpa disangka oleh karyawan..,
majikan itu ternyata memberikan seluruh kambing itu kepada si karyawan, betapa
senang si Karyawan itu.
Dari cerita diatas, lalu
Majikan ini ber do’a… “Ya Allah… Jika perbuatanku itu Kau catat sebagai Amal
Ibadah terbaikku.. aku mohon PadaMu… agar engkau menolongku agar Batu yang
menutup Goa ini terbuka lebar… dan Akhirnya… dari ketiga amal sholeh dan
perbuatan terbaik ketiga orang ini goa pun terbuka lebar sehingga mereka
bertiga bisa selamat dan keluar dari Goa.
Oleh karena itu, kata pak
Khotib…, Amalan yang terbaik yang timbul dari hati itulah sebaik baik taqwa dan
bisa memberikan Pertolongan kepada diri kita sendiri.
·
Taqwa nya Abu Bakar As-sidiq (Yaitu Taqwa yang
sudah habis habisan, mengorbankan segalanya di jalan Allah.. termasuk Jiwa Raga
dan Harta Benda namun masih merasa masih terlalu banyak dosa)
Konon menurut pak khotib,
Menurut Riwayat Hadist Soqih, Abu Bakar assidiq adalah Sahabat Nabi yang Kaya
Raya, dan mempunyai banyak super market, Lalu kemudian menjadi Miskin dan tidak
memiliki harta apapun, bahkan jubah dan sorban nya pun hanya dari karung goni
yang kusut. semua harta nya di gunakan untuk membantu perjuangan Rasullullah.
namun pengorbanannya itu tidak menjadikan abu Bakar assyidiq berbangga diri,
malah beliau masih merasa masih sangat banyak dosa dan selalu berdoa mohon
ampun kepada Allah SWT. inilah taqwa yang menduduki tingkatan paling atas kata
pak khotib.
D. SYARAT TAQWA
·
Ilmu
Dijadikan sebagai syarat untuk menggapai derajat
taqwa, karena ilmu adalah merupakan langkah awal untuk melakukan atau
menentukan sesuatu untuk mencapai tujuan. Seseorang bila ingin mencapai sebuah
tujuan, maka dia harus mengetahui (baca: meng-ilmu-i) hakikat (bentuk, rupa dan
keriteria) tujuan tersebut dengan jelas, tidak samar-samar, lalu dia harus
mengetahui persiapan apa yang ia lakukan untuk mencapai tujuan tersebut, dan
dia harus mengetahui apa konsekuensi yang harus ia pelihara ketika telah
mencapai tujuan tersebut... dan seterusnya - dan seterusnya.
Allah berfirman:
فَاعْلَمْأَنَّهُلَاإِلَهَإِلَّااللَّهُوَاسْتَغْفِرْلِذَنْبِكَ
"Ketahuilah bahwasannya tiada tuhan (yang
patut disembah dengan benar) melainkan Allah, dan mohon ampunlah atas
dosa-dosamu".[QS.
Muhammad:19]
Pada ayat ini Allah berfirman dengan menggunakan fi'il
'amr (kata kerja perintah), yaitu: ف - اعلم , dimana fi'il ini mashdarnya
adalah علم
(Ilmu), yang ma'nanya adalah: "Ketahuilah" atau "ilmuilah"
. Oleh karena itu dengan berdasarkan dalil ini Al Imam Muhammad bin Isma'il Al Bukhoriy dengan kedalaman ilmunya
dalam memahami Al Qur'an, dan dengan kecerdikannya dalam ber - istinbath
(mengeluarkan hukum dari/dengan dalil), meletakan sebuah Bab dalam kitab Shahihnya,
dengan berkata:
باب العلم قبل
القول و العمل
"Bab Ilmu terlebih dahulu sebelum berkata dan
beramal / berbuat" [Shahih
Bukhoriy - Kitab Al Ilmu]
Demikian juga dengan taqwa, taqwa adalah merupakan
puncak tujuan yang paling mulia bagi manusia dalam beragama, oleh karena itu
satu hal yang lebih utama lagi bagi seorang muslim untuk berilmu tentangnya,
dan ini suatu keharusan, yaitu diantaranya berilmu tentang hakikat taqwa, lawazim
(unsur-unsur) taqwa, tentang syarat dan rukunnya, tentang konsekuensinya, dan
kepada siapa dia bertaqwa.
Ringkas kata kita harus berilmu tentang taqwa dengan baik dan benar serta jelas
dan tidak samar-samar, sebelum kita berkata, dan berbuat/beramal dalam
melangkah menggapai derajat
taqwa.
Lawan dari ilmu adalah kejahilan (kebodohan). Maka
suatu hal yang tidak mungkin (mustahil) seseorang akan mencapai tujuan, bila ia
bodoh atau tidak mengetahui alias jahilterhadap tujuannya sendiri.
Demikian juga dengan ketaqwaan, seseorang tidak akan pernah mencapai derajat
taqwa bila ia jahil (bodoh) tentang ketaqwaan.
Akan tetapi Ilmu yang dimaksud secara mutlak, yang tidak boleh seorang muslim
bodoh (jahil) tentangnya adalah: Ma'rifatullah (mengenal Allah), Ma'rifat
An Nabi (mengenal Nabi), dan Ma'rifat Diin Al Islam bil Adillah
(mengenal agama Islam dengan dalil). Inilah yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman
At Tamimiy dalam "Al Ushul Ats Tsalatsah".
Sebagian ulama menyatakan, bahwa ilmu yang dimaksud adalah: Apa yang Allah
Firmankan dalam Al Qur'an, dan apa yang Rasululah sabdakan dalam Al Hadits, dan
apa yang para shahabat Rasul katakan dalam memahami Al Qur'an dan Al
Hadits.
Semua itu adalah lawazim taqwa yang sangat mendasar, setiap muslim bila
ingin mencapai derajat taqwa harus bertolak dari ilmu-ilmu tersebut, bila tidak
ia akan lemah dan rapuh, tidak akan pernah mencapai derajat taqwa.
·
Ikhlash
Yang dimaksud adalah mentauhidkan Allah dalam segala bentuk peribadahan kepada -Nya,
memurnikan ibadah hanya untuk Allah, dalam rangka menjalankan perintah dan
menjauhi larangan -Nya, semuanya dilakukan hanya karena dan untuk Allah tabaraka
wa ta'ala.
Allah berfirman:
وَمَاأُمِرُواإِلَّالِيَعْبُدُوااللَّهَمُخْلِصِينَلَهُالدِّينَحُنَفَاءَوَيُقِيمُواالصَّلَاةَوَيُؤْتُواالزَّكَاةَوَذَلِكَدِينُالْقَيِّمَةِ
" Dan tidaklah mereka diperintah kecuali agar
mereka menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepadanya dalam
menjalankan agama dengan lurus, dan agar mereka mendirikan shalat, menunaikan
zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus". [QS. Al Bayyinah: 5]
Agama yang lurus adalah agama yang jauh dari kesyirikan
(menyekutukan Allah) dan jauh dari kesesatan
Rasulullah bersabda:
·
(( إنما الأعمال بالنية و إنما لكل امريء ما
نوى ، فمن كانت هجرته إلى الله و رسوله فهجرته ، فهجرته إلى الله و رسوله ، و من
كانت هجرته للدنيا أو امرءة ينكحها فهجرة إلى ما هاجر إليه ))
"Hanyasaja amal itu dengan niat, dan hanyasaja
bagi setiap orang sesuai dengan niatnya, maka barang siapa hijrahnya kepada
Allah dan Rasul -Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul -Nya, dan barang
siapa yang hijrahnya untuk dunia yang akan dicarinya, atau wanita yang akan
dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang ia niatkan". [HR. Al Bukhariy & Muslim, dari Umar bin Al
Khathab].
Sabda Nabi yang mulia ini adalah merupakan timbangan amalan batin, untuk atau
karena apa seseorang itu beramal / ibadah, untuk atau karena siapa
seseorang itu beramal / ibadah, hanyasaja ini adalah sesuatu yang abstrak,
karena letaknya dalam hati, antara ia dan Allah saja yang tahu, dan hanya Allah
yang akan memperhitungkannya.
Dijadikan ikhlas adalah sebagai syarat untuk
mencapai derajat taqwa, karena tidak mungkin seorang muslim disebut orang yang
bertaqwa sedangkan ia berbuat kesyirikan, memalingkan ibadah kepada selain
Allah, menjadikan ibadahnya perantara-perantara kepada Allah dengan apa yang
tidak diizinkan oleh Allah, atau Allah tidak menurunkan keterangan -Nya dalam
kitab -Nya, atau dalam ibadahnya hanya untuk mencari penghidupan dunia, atau
hanya karena wanita yang akan dinikahiya, hal-hal tersebut adalah yang merusak
keikhlasan dalam beribadah kepada Allah. Bagaimana seseorang akan mencapai
derajat taqwa sedangkan ibadahnya rusak, dan tertolak disisi Allah?
Allah berfirman:
ذَلِكَهُدَىاللَّهِيَهْدِيبِهِمَنْيَشَاءُمِنْعِبَادِهِوَلَوْأَشْرَكُوالَحَبِطَعَنْهُمْمَاكَانُوايَعْمَلُونَ
Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi
petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hambaNya.seandainya
mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang
telah mereka kerjakan. [QS.
Al An'am: 88]
Oleh karena itu ikhlas adalah merupakan syarat
mutlak untuk mencapai ketaqwaan.
·
Ittiba'
mengikuti
contoh (suri tauladan) Nabi Muhammad Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam
diseluruh totalitas kehidupan kita dalam beribadah kepada Allah 'Azza wa
Jalla. Hal ini dikarenakan 2 hal:
Pertama: Karena Rasulullah adalah manusia dan hamba Allah
yang pertama kali yang telah mencapai puncak ketaqwaan. Beliaulah orang yang paling
bertaqwa didunia. Oleh karena beliau orang yang paling mengerti tentang apa
yang dikehendaki oleh Allah, sehingga beliau orang yang pertama kali yang
mengerjakan semua perintah Allah, dan orang yang paling pertama kali yang
menjauhi larangan Allah berdasarkan bimbingan dari Allah.
Rasulullah bersabda:
(( أنا
أتقى منكم ))
"Akulah orang
yang paling bertaqwa diantara kalian".[HR. Al Bukhariy]
Sabda Nabi demikian jangan sekali-kali kita
melihatnya dari pintu kibr (kesombongan), Nabi bersabda demikian karena
ada diantara orang-orang yang munafiq yang menuduh beliau tidak/kurang bertaqwa
kepada Allah, dan kurang berbuat adil dalam pembagian harta rampasan perang,
hal ini disebabkan karena pembagiannya tidak merata, dan orang yang menuduhnya
ini hanya mendapat bagian yang sedikit. Padahal beliau membaginya sesuai dengan
apa yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta'ala. Bahkan Rasulullah
berlaku demikian karena ketaqwaannya kepada Allah, karena menjalankn perintah
Allah.Makanya Rasulullah berkata demikian karena beliaulah orang yang pertama
kali yang menjalankan perintah Allah meskipun manusia tidak menyukainya.
Kedua: Karena orang yang beramal atau ibadah kepada
Allah, sedangkan ibadahnya tersebut tidak pernah ada ajarannya dari Rasulullah
Muhammad shalallahu'alaihi wa sallam , maka amalannya atau ibadahnya tersebut
tertolak disisi Allah subhanahu wa ta'ala
Rasulullah
bersabda:
(( من عمل
عملا ليس عليه أمرنا فهو رد ))
"Barang siapa yang mengamalkan satu amalan
yang tidak ada atasnya ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak".[HR. Al Bukhoriy & Muslim, dari Ummul Mu'minin
Aisyah radliallahu'anha]
Bagaimana kita akan mencapai ketaqwaan sedangkan
amal ibadah kita tertolak disisi Allah? Oleh karena itu Ittiba' (mengikuti
contoh / sunnah) Rasul, adalah syarat untuk mencapai derajat taqwa.
Adapun ayat-ayat Al Qur'an yang berbicara dan
memerintahkan untuk ittiba' kepada Nabi, banyak diantaranya:
Allah berfirman:
قُلْإِنْكُنْتُمْتُحِبُّونَاللَّهَفَاتَّبِعُونِييُحْبِبْكُمُاللَّهُوَيَغْفِرْلَكُمْذُنُوبَكُمْوَاللَّهُغَفُورٌرَحِيمٌ
"Katakanlah (Muhammad), jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan
mengampunkan dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".[QS. Ali Imran: 31].
Dan Allah berfirman:
(( ... و
ما آتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا ... ))
"... Dan apa-apa yang didatangkan oleh Rasul
kepadamu maka terimalah, dan apa-apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah..." [QS.
Al Hasyr: 7]
Dan Allah berfirman:
(( من بطع
الرسول فقد أطاع الله ))
"Barangsiapa yang taat kepada Rasul maka
sungguh ia telah mentaati Allah" [QS.An Nisa: 80]
BAB III
KESIMPULAN
Takwa adalah suatu kata yang sering
disebut dan terdengar dalam kalangan umat Islam, Arti Takwa yakni takut
kepada Allah swt yang disertai aktifitas atau mencegah diri dari segala
larangan sembari mengerjakan segala perintahnya, bukan takut dengan diam atau
bukan mencegah diri dari bertindak. Terkadang berada dalam keadaan takut atau
mencegah diri dengan berdiam diri (non-aktif), yakni pergi masuk rumah, duduk
dan tanpa melakukan suatu kerja, atau dengan tidak menyetir mobil untuk
mencegah diri dari menabrak gunung atau supaya tidak terlempar ke jurang.
Mencegah diri dari mendaki gunung, tidak bergerak supaya duri dan semak-belukar
tidak menusuki kaki dan paha, apakah demikiankah arti takwa?. Tentunya tidak
demikian dan Islam tidak menyarankan kita untuk bersikap demikian, akan tetapi
Islam mengatakan hadapi dan gelutilah aktifitas dan kejadian yang terjadi
dihadapan dan di ketika itulah hendaknya bertakwa.
Dari itu, hendaknya memahami makna kata
Takwa dengan: "Menjaga diri dalam setiap aktifitas atau berhati-hati dalam
bergerak", bergeraklah dalam berbagai lapangan namun berhati-hatilah dari
berbagai kesalahan, dari terjerembab dan orang lain, dari mengarah pada
kesia-siaan dan dari melampaui batas-batas yang sudah ditetapkan untuk manusia,
yang jika telah lampaui maka manusia akan tersesat dari jalannya, karena jalan
kehidupan ini sangat berbahaya, panjang dan gelap.
Kegelapan dunia ini dapat disaksikan:
kekuasaan materialis sekarang ini telah mengepulkan debu tebal di permukaan
dunia, sinyal-sinyal telekomunikasi mereka lancarkan, arahan-arahan kehendak
mereka lakukan dan berapa banyak manusia telah kehilangan jejak dari jalannya,
jadi sudah semestinya hendaknya berhati-hati!.
Betapa di dunia sekarang ini, kehendak
dan niat perjalanan para tiran dunia telah mendapat tempat di hati sebagian besar
penduduk dunia, seperti apa yang mereka katakan: "Pemikiran umum Barat
mengatakan demikian", maka demikianlah yang mereka usahakan sehingga pola
pemikiran umum Barat menjadi sebuah pernyataan yang seakan-akan menjadi satu
hakekat, untuk apa ini sebenarnya?, Mereka menginginkan supaya
kepercayaan-kepercayaan manusia ditarik kearah Barat. Patut disayangkan,
kepercayaan orang banyak telah berhasil mereka pengaruhi dan inilah sikap
elastis manusia yang juga memiliki kecenderungan untuk menerima kesesatan dari
jalan kehidupan yang hakiki, yang jika sedikit saja mereka kehilangan
kesadarannya maka dengan cepat mereka akan tersesat (dari jalan hakiki), dari
itu maka ditengah perjalanan (duniawi) ini dibutuhkan Takwa.
Jika seseorang tidak memiliki Takwa dan
demikian saja (berjalan dengan) menutup mata, tanpa memperhatikan dengan penuh
kesadaran melakukan aktifitasnya dan bertindak, apakah Quran dapat memberi
hidayat kepadanya? Tentu tidak, tiada satu kata kebenaranpun dapat menghidayati
manusia seperti ini!.
Seorang yang tidak menyiapkan telinga
hatinya untuk mendengarkan, maka tiada perkataan hakikat yang dapat ia percaya,
sedang ia hanya mabuk kepayang dalam kendali pilihan syahwatnya saja atau hanya
dengan syahwat orang lain ia bergerak, maka Quran tidak akan memberi hidayat
kepada orang semacam ini.
Betul, memang Al-Quran memanggil mereka
juga untuk dapat menerimanya sebagai pemberi hidayat, namun panggilan Quran ini
tiada dirasakan dengan peka oleh telinga mereka, keadaan mereka yang seperti ini
disebutkan oleh Al-Quran sendiri ddengan satu ibaratnya: "Mereka itu bagai
dipanggil dari tempat yang jauh" (Qs Fusilat/44) – Dan ayat demikian
mengisyaratkan kepada orang yang seperti ini, kepada mereka diperdengarkan
seruan dari jarak yang jauh.
Kadang-kadang ketika mendengar satu lagu
dari tempat yang jauh, seperti seseorang mendendangkan satu lagu yang sangat
indah dengan liku-liku irama yang sangat harmonis dan syahdu, tetapi katakanlah
dari kejauhan satu kilo meter suaranya sampai ke telinga, maka apa yang dapat
difahami dari kata demi kata yang dilantunkannya? Tentunya pertama ia tidak
dapat dimaklumi, karena ucapan kata-kata tidak terdengar dengan baik, hanya
desingan suara yang terdengar, kedua, irama indah yang digunakannyapun tidak
dapat dirasakan dan tidak dapat difahami kelembutan dan kesyahduannya.
Persis seperti sebuah lukisan yang
berbentuk garis panjang yang digores dipermukaan tembok yang dilihat dari
kejauhan, ia akan terlihat hanya sebagai satu garis kosong saja, tetapi ketika
Anda mendekatinya ternyata memiliki ukiran indah yang menunjukan ketinggian
karya seni yang digunakan keatasnya yang tidak dapat dilihat dari jarak yang
jauh, demikian macam orang-orang ini, dimana Al-Quran mengatakan bahwa mereka
seperti memperdengarkan panggilannya dari kejauhan sehingga mereka tidak dapat
mendengarkanya dengan baik.
Kata taqwa yang terulang dalam
Alquran sebanyak 17 kali, berasal dari akar kata waqa’ – yaqiy yang menurut
pengertian bahasa berarti antara lain, ‘menjaga, menghindari, menjauhi’ dan
sebagainya. Kata taqwa dalam bentuk kalimat perintah terulang sebanyak 79 kali,
‘Allah’ yang menjadi objeknya sebanyak 56 kali, neraka 2 kali, hari kemudian 4
kali, fitnah (bencana) 1 kali, tanpa objek 1 kali. Sedangkan selebihnya yakni
15 kali, objeknya bervariasi seperti rabbakum (Tuhanmu), al-ladzi khalaqakum
(yang menciptakan kamu), al-ladzi amaddakum bi ma ta’malun (yang
menganugerahkan kepada kamu anak dan harta benda) dan lain-lain.
Redaksi-redaksi tersebut semuanya menunjuk kepada Allah swt. Dari sini dapat
disimpulkan bahwa pada umumnya objek perintah bertakwa adalah Allah swt.
Sedangkan istilah Muttaqien adalah bentuk faa’il (pelaku) dari ittaqa suatu
kata dasar bentukan tambahan (mazid) dari kata dasar waqa, yang biasanya
diterjemahkan menjadi “orang yang menjaga diri untuk menyelamatkan dan
melindungi diri dari semua yang merugikan”. Jadi secara keseluruhan kata
muttaqien adalah menjaga diri untuk menyelamatkan dan melindungi diri dari
semua yang merugikan yaitu dari kemaksiatan, sirik, kemunafikan dan sebagainya.