KATA PENGANTAR
Puji
syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Alloh Swt. Yang telah memberikan
banyak nikmatnya kepada kami. Sehingga kami mampu menyelesaikan Makalah
Pendidikan Pancasila ini sesuai dengan waktu yang kami rencanakan. Makalah ini
kami buat dalam rangka memenuhi salah satu syarat penilaian mata kuliah
Pancasila. Yang meliputi nilai tugas, nilai kelompok, nilai individu, dan nilai
keaktifan.
Penyusunan makalah ini tidak berniat untuk
mengubah materi yang sudah tersusun. Namun, hanya lebih pendekatan pada study
banding atau membandingkan beberapa materi yang sama dari berbagai referensi.
Yang semoga bisa member tambahan pada hal yang terkait dengan Kepentingan
Pendidikan Pancasila dalam perkembangan Negara Indonesia di Era Reformasi.
Pembuatan makalah ini menggunakan metode study
pustaka, yaitu mengumpulkan dan mengkaji materi Pendidikan Pancasila dari
berbagai referensi. Kami gunakan metodepengumpulan data ini, agar makalah yang
kami susun dapat memberikan informasi yang akurat dan bisa dibuktikan.
Penyampaian pembandingan materi dari referensi
yang satu dengan yang lainnya akan menyatu dalam satu makalah kami. Sehingga
tidak ada perombakan total dari buku aslinya.
Kami sebagai penyusun pastinya tidak pernah lepas
dari kesalahan. Begitu pula dalam penyusunan makalah ini, yang mempunyai banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kami mohon maaf atas segala kekurangannya.
Kami ucapkan terima kasih kepada S.Rosdiani
Emiyulia,S.Pd.MM sebagai pengajar mata kuliah Pancasila yang telah membimbing
kami dalam penyusunan makalah ini.tidak lupa pula kepada rekan – rekan yang
telah ikut berpartisipasi. Sehingga makalah ini selesai tepat pada waktunya.
Penyusun
ii
BAB I
INTRUKSI PRESIDEN RI NOMOR 12 TAHUN 1968
Mempelajari Pancasila sebagai dasar negara,
ideologi, ajaran tentang nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa
Indonesia adalah kewajiban moral seluruh warga negara Indonesia. Pancasila yang
benar dan sah (otentik) adalah yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945. Hal itu ditegaskan melalui Instruksi
Presiden RI No.12 Tahun 1968,
tanggal 13 April 1968. Penegasan tersebut diperlukan
untuk menghindari tata urutan atau rumusan sistematik yang berbeda, yang dapat
menimbulkan kerancuan pendapat tentang isi Pancasila yang benar dan
sesungguhnya.
Dalam rangka mempelajari Pancasila, Laboratorium
Pancasila IKIP Malang (1986:9-14) menyarankan dua pendekatan yang semestinya
dilakukan untuk memperoleh pemahaman secara utuh dan menyeluruh mengenai
Pancasila. Pendekatan tersebut adalah pendekatan yuridis-konstitusional dan
pendekatan komprehensif.
Pendekatan yuridis-konstitusional diperlukan guna
meningkatkan kesadaran akan peranan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber
hukum, dan karenanya mengikat seluruh bangsa dan negara Indonesia untuk
melaksanakannya. Pelaksanaan Pancasila mengandaikan tumbuh dan berkembangnya
pengertian, penghayatan dan pengamalannya dalam keseharian hidup kita secara
individual maupun sosial selaku warga negara Indonesia.
Pendekatan komprehensif diperlukan untuk memahami
aneka fungsi dan kedudukan Pancasila yang didasarkan pada nilai historis dan
yuridis-konstitusional Pancasila: sebagaidasar
negara, ideologi, ajaran tentang nilai-nilai budaya dan pandangan hidup
bangsa Indonesia. Telaah tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa selain
merupakanphilosphische grondslaag (Bld), dasar filsafat negara Republik Indonesia,
Pancasila pun merupakan satu kesatuan sistem filsafat bangsa atau pandangan
hidup bangsa (Ing: way of
life; Jer: weltanschauung).
Maka tinjauan historis dan filosofis juga dipilih
untuk memperoleh pemahaman yang mengarah pada hakikat nilai-nilai budaya bangsa
yang dikandung Pancasila
sebagai suatu sistem filsafat.
Pancasila adalah keniscayaan sejarah yang dinamis dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kendati demikian, tinjauan filosofis
tidak hendak mengabaikan sumbangan budi-nurani terhadap aspek-aspek religius
dalam Pancasila (Lapasila, 1986:13-14): “Dengan tercantumnya Ketuhanan Yang
Maha Esa sebagai sila pertama dalam Pancasila, Pancasila sebenarnya telah
membentuk dirinya sendiri sebagai suatu ruang lingkup filsafat dan religi.
Karena hanya sistem filsafat dan religi yang mempunyai ruang lingkup pembahasan
tentang Ketuhanan yang Maha Esa. Dengan demikian secara ‘inheren’ Pancasila
mengandung watak filosofis dan aspek-aspek religius, sehingga pendekatan
filosofis dan religius adalah konsekuensi dariessensia Pancasila
sendiri yang mengandung unsur filsafat dan aspek religius. Karenanya, cara
pembahasan yang terbatas pada bidang ilmiah semata-mata belum relevan dengan
Pancasila.”
TINJAUAN PANCASILA DARI BERBAGAI SEGI
Mempelajari Pancasila sebagai dasar negara,
ideologi, ajaran tentang nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa
Indonesia adalah kewajiban moral seluruh warga negara Indonesia. Pancasila yang
benar dan sah (otentik) adalah yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945. Hal itu ditegaskan melalui Instruksi Presiden RI
No.12 Tahun 1968, tanggal 13 April 1968. Penegasan tersebut diperlukan untuk
menghindari tata urutan atau rumusan sistematik yang berbeda, yang dapat
menimbulkan kerancuan pendapat dalam memberikan isi Pancasila yang benar dan
sesungguhnya.
Dalam rangka mempelajari Pancasila, Laboratorium
Pancasila IKIP Malang (1986:9-14) menyarankan dua pendekatan yang semestinya
dilakukan untuk memperoleh pemahaman secara utuh dan menyeluruh mengenai
Pancasila. Pendekatan tersebut adalah pendekatan yuridis-konstitusional dan
pendekatan komprehensif.
Pendekatan yuridis-konstitusional diperlukan guna
meningkatkan kesadaran akan peranan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber
hukum, dan karenanya mengikat seluruh bangsa dan negara Indonesia untuk
melaksanakannya. Pelaksanaan Pancasila mengandaikan tumbuh dan berkembangnya
pengertian, penghayatan dan pengamalannya dalam keseharian hidup kita secara
individual maupun sosial selaku warga negara Indonesia.
Pendekatan komprehensif diperlukan untuk memahami
aneka fungsi dan kedudukan Pancasila yang didasarkan pada nilai historis dan
yuridis-konstitusional Pancasila: sebagai dasar negara, ideologi, ajaran
tentang nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Telaah
tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa selain merupakan philosphische
grondslaag (Bld), dasar filsafat negara Republik Indonesia, Pancasila pun
merupakan satu kesatuan sistem filsafat bangsa atau pandangan hidup bangsa
(Ing: way of life; Jer: weltanschauung). Maka tinjauan historis dan filosofis
juga dipilih untuk memperoleh pemahaman yang mengarah pada hakikat nilai-nilai
budaya bangsa yang dikandung Pancasila sebagai suatu sistem filsafat. Pancasila
adalah keniscayaan sejarah yang dinamis dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Kendati demikian, tinjauan filosofis tidak hendak
mengabaikan sumbangan budi-nurani terhadap aspek-aspek religius dalam Pancasila
(Lapasila, 1986:13-14): “Dengan tercantumnya Ketuhanan yang mahaesa sebagai
sila pertama dalam Pancasila, Pancasila sebenarnya telah membentuk dirinya
sendiri sebagai suatu ruang lingkup filsafat dan religi. Karena hanya sistem
filsafat dan religi yang mempunyai ruang lingkup pembahasan tentang Ketuhanan
yang mahaesa. Dengan demikian secara ‘inheren’ Pancasila mengandung watak
filosofis dan aspek-aspek religius, sehingga pendekatan filosofis dan religius
adalah konsekuensi dari essensia Pancasila sendiri yang mengandung unsur
filsafat dan aspek religius. Karenanya, cara pembahasan yang terbatas pada
bidang ilmiah semata-mata belum relevan dengan Pancasila.”
1.Tinjauan historis
Pembahasan historis Pancasila dibatasi pada
tinjauan terhadap perkembangan rumusan Pancasila sejak tanggal 29 Mei 1945
sampai dengan keluarnya Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968. Pembatasan ini
didasarkan pada dua pengandaian, yakni:
1) Telah tentang dasar negara Indonesia merdeka
baru dimulai pada tanggal 29 Mei 1945, saat dilaksanakan sidang Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI);
2) Sesudah Instruksi Presiden No.12 Tahun 1968
tersebut, kerancuan pendapat tentang rumusan Pancasila dapat dianggap tidak ada
lagi.
Permasalahan Pancasila yang masih terasa mengganjal
adalah tentang penghayatan dan pengamalannya saja. Hal ini tampaknya belum
terselesaikan oleh berbagai peraturan operasional tentangnya. Dalam hal ini,
pencabutan Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 (Ekaprasetia Pancakarsa) tampaknya juga
belum diikuti upaya penghayatan dan pengamalan Pancasila secara lebih
‘alamiah’. Tentu kita menyadari juga bahwa upaya pelestarian dan pewarisan
Pancasila tidak serta merta mengikuti Hukum Mendel.
Tinjauan historis Pancasila dalam kurun waktu
tersebut kiranya cukup untuk memperoleh gambaran yang memadai tentang proses
dan dinamika Pancasila hingga menjadi Pancasila otentik. Hal itu perlu
dilakukan mengingat bahwa dalam membahas Pancasila, kita terikat pada rumusan
Pancasila yang otentik dan pola hubungan sila-silanya yang selalu merupakan
satu kebulatan yang utuh.
Sidang BPUPKI – 29 Mei
1945 dan 1 Juni 1945
Dalam sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, Mr.
Muhammad Yamin menyampaikan telaah pertama tentang dasar negara Indonesia
merdeka sebagai berikut: 1) Peri Kebangsaan; 2) Peri Kemanusiaan; 3) Peri
Ketuhanan; 4) Peri Kerakyatan; 5) Kesejahteraan Rakyat. Ketika itu ia tidak
memberikan nama terhadap lima (5) azas yang diusulkannya sebagai dasar negara.
Pada tanggal 1 Juni 1945, dalam sidang yang sama,
Ir. Soekarno juga mengusulkan lima (5) dasar negara sebagai berikut: 1)
Kebangsaan Indonesia; 2) Internasionalisme; 3) Mufakat atau Demokrasi; 4)
Kesejahteraan Sosial; 5) Ketuhanan Yang Berkebudayaan. Dan dalam pidato yang
disambut gegap gempita itu, ia mengatakan: “… saja namakan ini dengan petundjuk
seorang teman kita – ahli bahasa, namanja ialah Pantja Sila …” (Anjar Any,
1982:26).
Piagam Jakarta 22 Juni 1945
Piagam Jakarta 22 Juni 1945
Rumusan lima dasar negara (Pancasila) tersebut
kemudian dikembangkan oleh “Panitia 9” yang lazim disebut demikian karena beranggotakan
sembilan orang tokoh nasional, yakni para wakil dari golongan Islam dan
Nasionalisme. Mereka adalah: Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. A.A.
Maramis, Abikusno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, H.A. Salim, Mr. Achmad
Subardjo, K.H. Wachid Hasjim, Mr. Muhammad Yamin. Rumusan sistematis dasar
negara oleh “Panitia 9” itu tercantum dalam suatu naskah Mukadimah yang
kemudian dikenal sebagai “Piagam Jakarta”, yaitu: 1) Ke-Tuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemelukknya; 2) Menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab; 3) Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; 5)
Mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam sidang BPUPKI tanggal 14 Juli 1945, “Piagam
Jakarta” diterima sebagai rancangan Mukadimah hukum dasar (konstitusi) Negara
Republik Indonesia. Rancangan tersebut – khususnya sistematika dasar negara
(Pancasila) – pada tanggal 18 Agustus disempurnakan dan disahkan oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menjadi: 1) Ketuhanan Yang Maha Esa; 2)
Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3) Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan; 5)
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; sebagaimana tercantum dalam
alinea keempat Pembukaan UUD 1945.
Konstitusi RIS (1949)
dan UUD Sementara (1950)
Dalam kedua konstitusi yang pernah menggantikan
UUD 1945 tersebut, Pancasila dirumuskan secara ‘lebih singkat’ menjadi: 1)
Pengakuan Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Perikemanusiaan; 3) Kebangsaan; 4)
Kerakyatan; 5) Keadilan sosial.
Sementara itu di kalangan masyarakat pun terjadi
kecenderungan menyingkat rumusan Pancasila dengan alasan praktis/ pragmatis
atau untuk lebih mengingatnya dengan variasi sebagai berikut: 1) Ketuhanan; 2)
Kemanusiaan; 3) Kebangsaan; 4) Kerakyatan atau Kedaulatan Rakyat; 5) Keadilan
sosial. Keanekaragaman rumusan dan atau sistematika Pancasila itu bahkan tetap
berlangsung sesudah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang secara implisit tentu
mengandung pula pengertian bahwa rumusan Pancasila harus sesuai dengan yang
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Instruksi Presiden RI
No.12 Tahun 1968
Rumusan yang beraneka ragam itu selain
membuktikan bahwa jiwa Pancasila tetap terkandung dalam setiap konstitusi yang
pernah berlaku di Indonesia, juga memungkinkan terjadinya penafsiran individual
yang membahayakan kelestariannya sebagai dasar negara, ideologi, ajaran tentang
nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Menyadari bahaya
tersebut, pada tanggal 13 April 1968, pemerintah mengeluarkan Instruksi
Presiden RI No.12 Tahun 1968 yang menyeragamkan tata urutan Pancasila seperti
yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
2.Tinjauan
yuridis-konstitusional
Meskipun nama “Pancasila” tidak secara eksplisit
disebutkan dalam UUD 1945 sebagai dasar negara, tetapi pada alinea keempat
Pembukaan UUD 1945 itu secara jelas disebutkan bahwa dasar negara Indonesia
adalah keseluruhan nilai yang dikandung Pancasila.
Dengan demikian tepatlah pernyataan Darji
Darmodihardjo (1984) bahwa secara yuridis-konstitusional, “Pancasila adalah
Dasar Negara yang dipergunakan sebagai dasar mengatur-menyelenggarakan
pemerintahan negara. … Mengingat bahwa Pancasila adalah Dasar Negara, maka mengamalkan
dan mengamankan Pancasila sebagai Dasar Negara mempunyai sifat imperatif/
memaksa, artinya setiap warga negara Indonesia harus tunduk-taat kepadanya.
Siapa saja yang melanggar Pancasila sebagai Dasar Negara, ia harus ditindak
menurut hukum, yakni hukum yang berlaku di Negara Indonesia.”
Pernyataan tersebut sesuai dengan posisi
Pancasila sebagai sumber tertinggi tertib hukum atau sumber dari segala sumber
hukum. Dengan demikian, segala hukum di Indonesia harus bersumber pada
Pancasila, sehingga dalam konteks sebagai negara yang berdasarkan hukum
(Rechtsstaat), Negara dan Pemerintah Indonesia ‘tunduk’ kepada Pancasila
sebagai ‘kekuasaan’ tertinggi.
Dalam kedudukan tersebut, Pancasila juga menjadi
pedoman untuk menafsirkan UUD 1945 dan atau penjabarannya melalui
peraturan-peraturan operasional lain di bawahnya, termasuk
kebijaksanaan-kebijaksanaan dan tindakan-tindakan pemerintah di bidang
pembangunan, dengan peran serta aktif seluruh warga negara.
Oleh karena itu dapatlah dimengerti bahwa seluruh
undang-undang, peraturan-peraturan operasional dan atau hukum lain yang
mengikutinya bukan hanya tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, sebagaimana
dimaksudkan oleh Kirdi Dipoyudo (1979:107): “… tetapi sejauh mungkin juga
selaras dengan Pancasila dan dijiwai olehnya …” sedemikian rupa sehingga
seluruh hukum itu merupakan jaminan terhadap penjabaran, pelaksanaan, penerapan
Pancasila.
Demikianlah tinjauan historis dan
yuridis-konstitusional secara singkat yang memberikan pengertian bahwa
Pancasila yang otentik (resmi/ sah) adalah Pancasila sebagaimana tercantum
dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Pelaksanaan dan pengamanannya sebagai
dasar negara bersifat imperatif/ memaksa, karena pelanggaran terhadapnya dapt
dikenai tindakan berdasarkan hukum positif yang pada dasarnya merupakan jaminan
penjabaran, pelaksanaan dan penerapan Pancasila.
Pemilihan Pancasila sebagai dasar negara oleh the
founding fathers Republik Indonesia patut disyukuri oleh segenap rakyat
Indonesia karena ia bersumber pada nilai-nilai budaya dan pandangan hidup
bangsa Indonesia sendiri atau yang dengan terminologi von Savigny disebut
sebagai jiwa bangsa (volkgeist). Namun hal itu tidak akan berarti apa-apa bila
Pancasila tidak dilaksanakan dalam keseharian hidup bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara sedemkian rupa dengan meletakkan Pancasila secara proporsional
sebagai dasar negara, ideologi, ajaran tentang nilai-nilai budaya bangsa dan
pandangan hidup bangsa.
3.Tinjauan
tentang sifat dasar Pancasila
Secara yuridis-konstitusional, Pancasila adalah
dasar negara. Namun secara multidimensional, ia memiliki berbagai sebutan
(fungsi/ posisi) yang sesuai pula dengan esensi dan eksistensinya sebagai
kristalisasi nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Karena
itu Pancasila sering disebut dan dipahami sebagai: 1 ) Jiwa Bangsa Indonesia; 2
) Kepribadian Bangsa Indonesia; 3 ) Pandangan Hidup Bangsa Indonesia; 4 ) Dasar
Negara Republik Indonesia; 5 ) Sumber Hukum atau Sumber Tertib Hukum bagi
Negara Republik Indonesia; 6 ) Perjanjian Luhur Bangsa Indonesia pada waktu
mendirikan Negara; 7 ) Cita-cita dan Tujuan Bangsa Indonesia; 8 ) Filsafat
Hidup yang mempersatukan Bangsa Indonesia.
Sebutan yang beraneka ragam itu mencerminkan
kenyataan bahwa Pancasila adalah dasar negara yang bersifat terbuka. Pancasila
tidak bersifat kaku (rigid), melainkan luwes karena mengandung nilai-nilai
universal yang praktis (tidak utopis) serta bersumber pada nilai-nilai budaya
dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Maka keanekaragaman fungsi Pancasila
tersebut merupakan konsekuensi logis dari esensinya sebagai satu kesatuan
sistem filsafat (philosophical way of thinking) milik sendiri yang dipilih oleh
bangsa Indonesia untuk dijadikan dasar negara (dasar filsafat negara atau
philosophische gronslaag negara dan atau ideologi negara/ staatside).
Meskipun demikian, dalam tugas dan kewajiban
luhur melaksanakan serta mengamankan Pancasila sebagai dasar negara itu, kita
perlu mewaspadai kemungkinan berjangkitnya pengertian yang sesat mengenai
Pancasila yang direkayasa demi kepentingan pribadi dan atau golongan tertentu
yang justru dapat mengaburkan fungsi pokok Pancasila sebagai dasar negara.
Karena itu tepatlah yang dianjurkan Darji Darmodihardjo berdasarkan pengalaman
sejarah bangsa dan negara kita, yaitu bahwa “… dalam mencari kebenaran
Pancasila sebagai philosophical way of thinking atau philosophical system
tidaklah perlu sampai menimbulkan pertentangan dan persengketaan apalagi
perpecahan.”
Pancasila diharapkan tidak dimengerti melulu
sebagai indoktrinasi yang bersifat imperatif karena fungsi pokoknya, tetapi
yang juga perlu diintenalisasi ke dalam batin setiap dan seluruh warga negara
Indonesia karena ‘fungsi penyertanya’ yang justru merupakan sumber Pancasila
sebagai dasar negara.
Dipandang dari segi hukum, kedudukan dan fungsi
dasar negara dalam pengertian yuridis-ketatanegaraan sebenarnya sudah sangat
kuat karena pelaksanaan dan pengamalannya sudah terkandung pula di dalamnya.
Tetapi tidak demikian halnya dengan Pancasila secara multidimensional.
Sebagaimana kita ketahui dari sejarah
kelahirannya, Pancasila digali dari sosio-budaya Indonesia, baik secara
perorangan maupun kolektif, kemudian ditetapkan secara implisit sebagai dasar
negara pada tanggal 18 Agustus 1945. Mengenai kekokohan Pancasila yang bersifat
kekal-abadi (Pancasila dalam arti statis sebagai dasar negara), Ir. Soekarno
mengatakan: “Sudah jelas, kalau kita mau mencari suatu dasar yang statis, maka
dasar yang statis itu haruslah terdiri dari elemen-elemen yang ada jiwa
Indonesia.”
Namun Pancasila bukanlah dasar negara yang hanya
bersifat statis, melainkan dinamis karena ia pun menjadi pandangan hidup,
filsafat bangsa, ideologi nasional, kepribadian bangsa, sumber dari segala
sumber tertib hukum, tujuan negara, perjanjian luhur bangsa Indonesia, yang
menuntut pelaksanaan dan pengamanannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Dalam praksis kehidupan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia,
peranan atau implementasi Pancasila secara multidimensional itu dapat
dijelaskan secara singkat sebagai berikut:
Ø Sebagai
dasar negara, Pancasila menjadi dasar/ tumpuan dan tata cara penyelenggaraan
negara dalam usaha mencapai cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Ø Sebagai
pandangan hidup bangsa, Pancasila menghidupi dan dihidupi oleh bangsa Indonesia
dalam seluruh rangkaian yang bulat dan utuh tentang segala pola pikir, karsa
dan karyanya terhadap ada dan keberadaan sebagai manusia Indonesia, baik secara
individual maupun sosial. Pancasila merupakan pegangan hidup yang memberikan
arah sekaligus isi dan landasan yang kokoh untuk mencapai cita-cita bangsa
Indonesia.
Ø Sebagai
filsafat bangsa, Pancasila merupakan hasil proses berpikir yang menyeluruh dan
mendalam mengenai hakikat diri bangsa Indonesia, sehingga merupakan pilihan
yang tepat dan satu-satunya untuk bertingkah laku sebagai manusia Indonesia
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai budaya
bangsa yang terkandung dalam Pancasila telah menjadi etika normatif, berlaku
umum, azasi dan fundamental, yang senantiasa ditumbuhkembangkan dalam proses
mengada dan menjadi manusia Indonesia seutuhnya.
Ø Sebagai
ideologi nasional, Pancasila tidak hanya mengatur hubungan antarmanusia
Indonesia, namun telah menjadi cita-cita politik dalam dan luar negeri serta
pedoman pencapaian tujuan nasional yang diyakini oleh seluruh bangsa Indonesia.
Ø Sebagai
kepribadian bangsa, Pancasila merupakan pilihan unik yang paling tepat bagi
bangsa Indonesia, karena merupakan cermin sosio-budaya bangsa Indonesia sendiri
sejak adanya di bumi Nusantara. Secara integral, Pancasila adalah meterai yang
khas Indonesia.
Ø Sebagai
sumber dari segala sumber tertib hukum, Pancasila menempati kedudukan tertinggi
dalam tata perundang-undangan negara Republik Indonesia. Segala peraturan,
undang-undang, hukum positif harus bersumber dan ditujukan demi terlaksananya
(sekaligus pengamanan) Pancasila.
Ø Sebagai
tujuan negara, Pancasila nyata perannya, karena pemenuhan nilai-nilai Pancasila
itu melekat erat dengan perjuangan bangsa dan negara Indonesia sejak Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga kini dan di masa depan. Pola pembangunan
nasional semestinya menunjukkan tekad bangsa dan negara Indonesia untuk
mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Ø Sebagai
perjanjian luhur, karena Pancasila digali dari sosio-budaya bangsa Indonesia
sendiri, disepakati bersama oleh seluruh rakyat Indonesia sebagai milik yang
harus diamankan dan dilestarikan. Pewarisan nilai-nilai Pancasila kepada
generasi penerus adalah kewajiban moral seluruh bangsa Indonesia. Melalaikannya
berarti mengingkari perjanjian luhur itu dan dengan demikian juga mengingkari
hakikat dan harkat diri kita sebagai manusia.
MAKNA SILA-SILA PANCASILA
Arti dan Makna Sila Ketuhanan
yang Maha Esa
•
Mengandung arti pengakuan adanya kuasa
prima (sebab pertama) yaitu Tuhan yang Maha Esa
•
Menjamin penduduk untuk memeluk agama
masing-masing dan beribadah menurut agamanya.
•
Tidak memaksa warga negara untuk beragama.
•
Menjamin berkembang dan tumbuh suburnya
kehidupan beragama.
•
Bertoleransi dalam beragama, dalam hal ini
toleransi ditekankan dalam beribadah menurut agamanya masing-masing.
•
Negara memberi fasilitator bagi tumbuh
kembangnya agama dan iman warga negara dan mediator ketika terjadi konflik
agama.
Arti dan Makna Sila
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
•
Menempatkan manusia sesuai dengan
hakikatnya sebagai makhluk Tuhan
•
Menjunjung tinggi kemerdekaan sebagai hak
segala bangsa.
•
Mewujudkan keadilan dan peradaban yang
tidak lemah.
Arti dan Makna Sila
Persatuan Indonesia
•
Nasionalisme.
•
Cinta bangsa dan tanah air.
•
Menggalang persatuan dan kesatuan
Indonesia.
•
Menghilangkan penonjolan kekuatan atau
kekuasaan, keturunan dan perbedaan warna kulit.
•
Menumbuhkan rasa senasib dan
sepenanggungan.
•
Mengandung arti pengakuan adanya kuasa
prima (sebab pertama) yaitu Tuhan yang Maha Esa
•
Menjamin penduduk untuk memeluk agama
masing-masing dan beribadah menurut agamanya.
•
Tidak memaksa warga negara untuk beragama.
•
Menjamin berkembang dan tumbuh suburnya kehidupan
beragama.
•
Bertoleransi dalam beragama, dalam hal ini
toleransi ditekankan dalam beribadah menurut agamanya masing-masing.
•
Negara memberi fasilitator bagi tumbuh
kembangnya agama dan iman warga negara dan mediator ketika terjadi konflik
agama.
Arti dan Makna Sila
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan
Perwakilan
•
Hakikat sila ini adalah demokrasi.
•
Permusyawaratan, artinya mengusahakan
putusan bersama secara bulat, baru sesudah itu diadakan tindakan bersama.
•
Dalam melaksanakan keputusan diperlukan
kejujuran bersama.
Arti dan Makna Sila
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
•
Kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat
dalam arti dinamis dan meningkat.
•
Seluruh kekayaan alam dan sebagainya
dipergunakan bagi kebahagiaan bersama menurut potensi masing-masing.
•
Melindungi yang lemah agar kelompok warga
masyarakat dapat bekerja sesuai dengan bidangnya.
Sikap positif terhadap
nilai-nilai pancasila
Nilai-nilai Pancasila telah diyakini kebenarannya
oleh bangsa Indonesia. Oleh karena itu , mengamalkan Pancasila merupakan suatu
keharusan bagi bangsa Indonesia.
Sikap positif dalam mengamalkan nilai-nilai
pancasila.
•
Menghormati anggota keluarga
•
Menghormati orang yang lebih tua
•
Membiasakan hidup hemat
•
Tidak membeda-bedakan teman
•
Membiasakan musyawarah untuk mufakat
•
Menjalankan ibadah sesuai dengan agama
masing-masing
•
Membantu orang lain yang kesusahan sesuai
dengan kemampuan sendiri.
PANCASILA SEBAGAI PILIHAN BANGSA
Pancasilan telah disahkan secara yuridis
konstitusional pada tanggal
18 Agustus 1945 sebagai dasar Negara
RI.Pada masa Orde baru Pancasila melalui
P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ), disamping dasar negara juga
diberi sebutan pandangan hidup, perjanjian luhur bangsa, tujuan yang hendak di
capai, moral pembangunan, kepribadian bangsa indonesia, dan lain-lain.
Setelah lahirnya repormasi di keluarkanlah
ketetapan MPR RI no. XVIII/MPR/1998, berisi:
a. Pengembalian fungsi pancasila sebagai dasar
negara.
b. Penghapusan P4.
c. Penghapusan pancasila sebagai azas tungggal
bagi organisasi sosial politik di indonesia.
Dan pancasila mempunyai fungsi yang tetap yaitu
sebagai dasar negara dan juga sebagai ideologi bangsa dan negara.
Argumentasi serta alasan-alasan pembenatanya adalah sebagai berikut:
Bangsa Indonesia sebagai salah
satu bangsa di dunia nampaknya ditakdirkan memiliki karakteristik, baik dalam
konteks geopolitiknya maupun struktur sosial budayanya, yang berbeda dengan
bangsa lain di dunia ini. Oleh karena itu para founding fathers Republik ini memilih dan merumuskan suatu dasar
filosofi, suatu kalimatun
sawa yang secara objektif sesuai dengan
realitas bangsa ini, yaitu suatu dasar filsafat bangsa dan negara Indonesia
yang sila pertamanya berbunyi ”Ketuhanan Yang Maha Esa”, di tengah-tengah
negara ateis, sekuler serta negara teokrasi. Perumusan dasar filosofi negara
ini dalam suatu proses yang cukup panjang dalam sejarah. Negara Indonesia
dengan dasar filosofi ’Ketuhanan Yang Maha Esa’ memiliki ciri khas jika
dibandingkan dengan tipe negara ateis dan negara sekuler. Oleh karena itu dalam negara yang berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa, kehidupan agama tidak dipisahkan sama sekali melainkan
justru agama mendapatkanlegitimasi
filosofis, yuridis dan politis dalam
negara, hal ini sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Secara
filosofis Ketuhanan Yang Maha Esa terkandung dalam sila pertama Pancasila yang
berkedudukan sebagai dasar filsafat negara Indonesia, sehingga sila pertama
tersebut sebagai dasar filosofis bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan dalam
hal hubungan negara dengan agama. Dalam
peraturan perundang-undangan Indonesia bukan mengatur ruang akidah umat
beragama melainkan mengatur ruang publik warga negara dalam hubungan antar
manusia. Sebagai contoh berbagai produk peraturan perundangan dalam hukum
positif Islam, misalnya UU RI No. 41 tentangWakaf, UU RI No. 38 tentang
Pengelolaan Zakat, ini mengatur tentang wakaf dan zakat pada domein kemasyarakatan dan kenegaraan.
Secara filosofis relasi ideal antara negara
dengan agama, prinsip dasar negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa, yang
berarti setiap warga negara bebas berkeyakinan atau memeluk agama sesuai dengan
keyakinan dan kepercayaannya. Kebebasan dalam pengertian ini berarti bahwa
keputusan beragama dan beribadah diletakkan pada domain privat atau pada
tingkat individu. Dapat juga dikatakan bahwa agama perupakan persoalan individu
dan bukan persoalan negara. Negara dalam hubungan ini cukup menjamin secara
yuridis dan memfasilitasi agar warga negara dapat menjalakan agama dan
beribadah dengan rasa aman, tenteram dan damai. Akan tetapi bagaimanapun juga
manusia membentuk negara tetap harus ada regulasi negara khususnya dalam
kehidupan beragama. Regulasi tersebut diperlukan dalam rangka memberikan
perlindungan kepada warga negara. Regulasi tersebut berkaitan dengan
upaya-upaya melindungi keselamatan masyarakat (public savety), ketertiban masyarakat (public order), etik
dan moral masyarakat (moral
public), kesehatan masyarakat (public healt) dan
melindungi hak dan kebebasan mendasar orang lain (the fundamental right and freedom orders). Regulasi
yang dilakukan oleh negara terhadap kebebasan warga negara dalam memeluk agama,
nampaknya masih memerlukan pengembangan lebih lanjut. Misalnya dalam KUHAP,
hanya dimuat dalam beberapa pasal saja misalnya Pasal 156 yang mengatur tentang
kebencian dan penghinaan pada suatu agama, Pasal 156a tentang penodaan agama,
Pasal 175 merintangi dengan kekerasan upacara keagamaan, Pasal 176 tentang
mengganggu pertemuan keagamaan.
B.
PANCASIL SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA DAN NEGARA
Pengertian Ideologi
Istilah ideologi berasal dari
kata idea yang berarti gagasan, konsep, pengertian dasar,
cita-cita danlogos yang berarti ilmu. Jadi secara harafiah ideologi
berarti ilmu tentang pengertian dasar, ide atau cita-cita. Cita-cita yang
dimaksudkan adalah cita-cita yang tetap sifatnya dan harus dapat dicapai
sehingga cita-cita itu sekaligus merupakan dasar, pandangan, paham.
Ideologi yang semula berarti
gagasan, ide, cita-cita itu berkembang menjadi suatu paham mengenai seperangkat
nilai atau pemikiran yang oleh seseorang atau sekelompok orang menjadi suatu
pegangan hidup.
Beberapa
pengertian ideologi:
§ A.S.
Hornby mengatakan
bahwa ideologi adalah seperangkat gagasan yang membentuk landasan teori ekonomi
dan politik atau yang dipegangi oleh seorang atau sekelompok orang.
§ Soerjono
Soekanto menyatakan
bahwa secara umum ideologi sebagai kumpulan gagasan, ide, keyakinan,
kepercayaan yang menyeluruh dan sistematis, yang menyangkut bidang politik,
sosial, kebudayaan, dan agama.
§ Gunawan
Setiardja merumuskan
ideologi sebagai seperangkat ide asasi tentang manusia dan seluruh realitas
yang dijadikan pedoman dan cita-cita hidup.
§ Frans
Magnis Suseno mengatakan
bahwa ideologi sebagai suatu sistem pemikiran yang dapat dibedakan menjadi
ideologi tertutup dan ideologi terbuka.
§ Ideologi
tertutup, merupakan
suatu sistem pemikiran tertutup. Ciri-cirinya: merupakan cita-cita suatu
kelompok orang untuk mengubah dan memperbarui masyarakat; atas nama ideologi
dibenarkan pengorbanan-pengorbanan yang dibebankan kepada masyarakat; isinya
bukan hanya nilai-nilai dan cita-cita tertentu, melainkan terdiri dari
tuntutan-tuntutan konkret dan operasional yang keras, yang diajukan dengan
mutlak.
§ Ideologi
terbuka, merupakan suatu pemikiran
yang terbuka. Ciri-cirinya: bahwa nilai-nilai dan cita-citanya tidak dapat
dipaksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari moral, budaya
masyarakat itu sendiri; dasarnya bukan keyakinan ideologis sekelompok orang,
melainkan hasil musyawarah dari konsensus masyarakat tersebut; nilai-nilai itu
sifatnya dasar, secara garis besar saja sehingga tidak langsung operasional.
Fungsi
utama ideologi dalam masyarakat menurut Ramlan Surbakti (1999) ada dua, yaitu:
sebagai tujuan atau cita-cita yang hendak dicapai secara bersama oleh suatu
masyarakat, dan sebagai pemersatu masyarakat dan karenanya sebagai prosedur
penyelesaian konflik yang terjadi dalam masyarakat.
Pancasila
sebagai ideologi mengandung nilai-nilai yang berakar pada pandangan hidup
bangsa dan falsafat bangsa. Dengan demikian memenuhi syarat sebagai suatu
ideologi terbuka.
Sumber
semangat yang menjadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah terdapat
dalam penjelasan UUD 1945: _terutama
bagi negara baru dan negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu
hanya memuat aturan-aturan pokok, sedangkan aturan-aturan yang menyelenggarakan
aturan pokok itu diserahkan kepada undang-undang yang lebih mudah caranya
membuat, mengubah dan mencabutnya
Sifat Ideologi
Ada tiga dimensi sifat
ideologi, yaitu dimensi realitas, dimensi idealisme, dan dimensi fleksibilitas.
•
•
Dimensi Realitas: nilai yang terkandung dalam dirinya, bersumber dari
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, terutama pada waktu ideologi itu
lahir, sehingga mereka betul-betul merasakan dan menghayati bahwa nilai-nilai
dasar itu adalah milik mereka bersama. Pancasila mengandung sifat dimensi
realitas ini dalam dirinya.
•
Dimensi idealisme:
ideologi itu mengandung cita-cita yang ingin diicapai dalam berbagai bidang
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pancasila bukan saja memenuhi
dimensi idealisme ini tetapi juga berkaitan dengan dimensi realitas.
•
Dimensi fleksibilitas:
ideologi itu memberikan penyegaran, memelihara dan memperkuat relevansinya dari
waktu ke waktu sehingga bebrsifat dinamis, demokrastis. Pancasila memiliki
dimensi fleksibilitas karena memelihara, memperkuat relevansinya dari masa ke
masa.
•
Faktor
Pendorong Keterbukaan Ideologi Pancasila
•
Kenyataan dalam proses pembangunan nasional
dan dinamika masyarakat yang berkembang secara cepat.
•
Kenyataan menujukkan bahwa bangkrutnya
ideologi yang tertutup danbeku cendnerung meredupkan perkembangan dirinya.
•
Pengalaman sejarah politik masa lampau.
•
Tekad untuk memperkokoh kesadaran akan
nilai-nilai dasar Pancasila yang bersifat abadi dan hasrat mengembangkan secara
kreatif dan dinamis dalam rangka mencapai tujuan nasional.
•
Sekalipun Pancasila sebagai ideologi
bersifat terbuka, namun ada batas-batas keterbukaan yang tidak boleh dilanggar,
yaitu:
•
Stabilitas nasional yang dinamis
•
Larangan terhadap ideologi marxisme,
leninnisme dan komunisme
•
Mencegah berkembangnya paham liberalisme
•
Larangan terhadap pandangan ekstrim yang
menggelisahkan kehidupan bermasyarakat
•
Penciptaan norma-norma baru harus melalui
konsensus.
•
Makna Pancasila
sebagai Ideologi Bangsa
•
Makna Pancasila sebagai ideologi bangsa
Indonesia adalah bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila itu
menjadi cita-cita normatif
bagi penyelenggaraan bernegara. Dengan kata
lain, visi atau arah dari penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara
Indonesia adalah terwujudnya kehidupan yang ber-Ketuhanan, yang
ber-Kemanusiaan, yang ber-Persatuan, yang ber-Kerakyatan, dan yang
ber-Keadilan.
•
Pancasila sebagai ideologi nasional selain
berfungsi sebagai cita-cita normatif penyelenggaraan bernegara, nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila merupakan nilai yang disepakati bersama, karena
itu juga berfungsi sebagai sarana pemersatu
masyarakat yang dapat memparsatukan
berbagai golongan masyarakat di Indonesia.